Faforite Picture

Faforite Picture
Wait For Change

5.07.2008

Dilema Hukum Dan Kekerasan Negara

Hukum dan kekerasan memang ibarat dua sisi mata uang, tetapi bagaimana agar hartersebut dapat menusuiawi atas nama kemanusiaan?.

Apakah Pemerintah mempunyai wewenang menjalankan kebijakan kontrofersial kepada masyarakat ditengah kondisi Lembaga Respresentatif Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat) yang bermasalah, dan kehilangan fungsi check and balancies-nya,
Wajah hukum paska Reformasi kurang menempakkan wajah reformisnya terbukti banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontrofersial dimata rakyat semisal kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), Impor beras atau rencana pemangkasan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ), padahal dalam amandemen UUD 1945 yang terahir, kekuasaan legislatife (DPR) Sudah di perbesar untuk mengimbangi kekuasaan Eksekutif yang sangat dominan di Ordebaru sehingga proses “cek and balancies” lembaga yang mewakili suara rakyat di Indonesia ini seperti “Utopa” belaka dan Otoritarianisme kembali lagi.
Hal tersebut ditanggapi oleh Nikmatul Huda salah satu akademisi yang mengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indionesia (FH UII) yang di wawancarai reporter “keadilan” setelah selesai mengajar kuliah Hukum Pemerintah Daerah mengatakan bahwa “Hal tersebut sangat disayangkan dikarenakan, UUD yang setelah diamandemen tidak memberikan korelasi positif pada prakteknya hal tersebut dapat terlihat setelah amendemen parlemen DPR yang diberikan kekuasaan sangat besar tetapi pada prakteknya tidak bisa mendaya gunakan hak-kaknya yang dia miliki malah terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif”
Sembari menerawang kelangit-langit kelas Dia melanjutkan “Sebenarnya kita dapat menggugat parlemen dikarenakan perlemen mengingkari konstitusi, kerena hanya menjadi tukang setempel, menurut saya perlu diluruskan kerja DPR itu apa ?, dan perlua adanya rambu-rambu bagi orang yang duduk di pemerintahan”.
“Jusuf Kala ( Wakil Presiden Repiblik Indonesia) dia adalah seorang ketua partai sekaligus Wakil Presiden, maka jika partainya yang ada di DPR inggin mengambil tindakan berbeda dengan pemerintah, dia bisa mengendalikan anggota dewan di partainya yang ada diparlemen dengan posisi Dia sebagai ketua partai” dicontohkan Nikmatul sengan pandangan yang ber api-api
Reporter “keadilan” berusaha mengali lebih dalam lagi dan menanyakan lahirnya Otoritarianisme baru dengan dikembalikanya sistem sentralistik tersebut apakah berdampak lebih luas Dengan Sennyum khasnya Nikmatul Huda menjawab “ Hal tersebut berimbas ke Daerah.
bahwa sekarang “orang” di daerah mengatakan bahwa UU Otonomi Daerah (OTDA) no 22 no 1999 yang sudah diganti UU no 32 2004 yang dikatakan untuk rakyat didarah kerena diberi otonomi seluas-luasnya. Hal tersebut kontradiktif sebenarnya bisa dikatakan OTDA seluas-luasnya adalah UU no22 bukan UU no 32, karena dalam UU no 32 itu semuanya kembali kepusat, atau paling tidak gubernur itu adalah kepanjangan tanggan yang paling evektif dari pusat, karena gubernur bisa membatalkan Peraturan Daerah (PERDA), dengan alasan biar ada kendali yang sehat didaerah, tetapi itu menggurang kekuasaan didaerah untuk bisa mengapresiasi kewenangan daerah masing-masing karena kalau sudah dituangkan dalam (PERDA), gumbernur dengan alasan evaluasi bisa mereduksi potensi-potensi di daerah yang akan dituanggkan di perda” tegasnya..
“Kedepanya harus ada larangan dualisme jabatan antara pemimpin partai yang juga menjabat legislative, karena akan terjadi konflik interes. Itu akan menggangu sistem “chek end balancies” karena akan tidak seimbang, dan tidak bisa saling mengawasi karena presiden akan lebih dominan disitu” Ungkap Nikmatul saat ditanya bagai mana solusi atas Otoritarianisme yang timbul akibat lemahnya legeslatif dalam mengawasi eksekutif

Masalah Etika Hukum
Terkait dengan trias politika yang diungkapkan Montesquiu sekitar satu abad yang lalu yang semangatnya untuk membatasi Otoritarianisme penguasa, hal tersebut berputarbalik di Indonesia walaupun secara formal Indonesia sudah membagi kekuasaannya menjadi Legislative, Eksekutif dan Yudikatif tetapi dalam implementasinya hal tersebut tidak terwujud.
Hal senada diungkapkan oleh Deny Indrayana Direktur Indonesia Court Monitoring ( ICW ) saat ditemui reporter keadilan di ruang kerja nya di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada “sekarang ini yang bermasalah adalah “Rule Of Ethic” ( Etika Bernegara ) bukanya “Rule Of Law” ( Hukum Negara )”
Dia melanjutkan “contohnya adalah Pemilihan Kepala Daerah berlangsung baik tetapi Politik Uang membajaknya, Peradilan berlangsung baik lebih tranparan tetapi “Mafia Peradilan” membajaknya , menurut saya sikap-sikap otoritarianisme missal model-model tidak adanya keperbihakan terhadab para demonstran yang memperjuangkan haknya yang di rampas oleh pemerintah dengan menjahit mulutnya atau dengan mogok makan, ini adalah masalah Etika Bernegara, dimana keberpihakan anggota DPR terhadap rakyat yang dirugikan oleh kebijakan pemerintah adalah Etika Bernegara.
Sebenarnya ada persamaan parlen jaman soeharto dan jaman sekarang, persamaanya adalah sama-sama mendukung kebijakan pemerintah , yang berbeda adalah kalau jaman Soeharto di tingkat politik Parlemen, itu ada yang memanipulasi sistem musyawarah dan mufakat kalau sekarang terutama dijaman Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ). adalah negoisasi politik. Yang menyababkan koalisi yang sibangun SBY dapat menmguasai kebijakan- klebijakan di parleman, kita tidak boleh naïf mengatakan proses politik itu tidak boleh.
Yang bermasalah disini dalam segi Ketata Negaraan Rule Of Etihc itu harusnya dibangun dengan system Chek and balances. Dimana etika bernegara tersebut dibatasi dengan konstitusi. Kalau dalam sistem presidensial harus ada partai yang membela pemerintah dan ada partai oposisi. Kalau sekarang di pemerintahan SBY, ini ngak jelas mana yang partai pro oposisi dan mana partai yang pro pemerintah, yang dibangun SBY ini adalah “Oversize” koalisi.
Mestinya yang “Dia” bangun adalah koalisi yang pas terbatas minimal “Wining coalision”, hal tersebut adalah membangn koalisi yang dibangun dari jumlah mayoritas sederhana yang ada di parlemen. DPR sekarang limaratus kalau dia mau membentuk koalisi yang sederhana, seharusnya perwakilan partai dikabinet tidak boleh lebih dari tiga ratus. atau lebih dari setengah kursi di parlemen. sekarang yang dibangun SBY tersebut, dari keseluruhan nya bisa lebih dari tiga ratus limapuluh kursi atau empat ratus, nah hal tersebut menyebabkan over size koalisi, menjadikan sistem chek and balanciesnya tidak jalan, itu artinya Etika Politik kita masih sangat prakmatis.
Intinya kedepanya kita harus memilih pemimpin-pemimpin yang lebih beretika. Partai politik harus diberi pelajaran agar lebih beretika. Masyarakat juga harus diberikan pelajaran politik supaya memilih partai pilitik yang beretika, sistem reward and punished harus diberikan ke lembaga-lembaga politik”.
Kemeudian Deny Menuturkan kembali bahwa “kalau sekarang kita mengharapkan DPR untuk mengkritisi kebijakan pemerintah sudah sulit, dikarenakan SBY sudah membangun Oversize coalition, mereka akan lebih mudah mengiyakan dari pada menolak kebijakan.
Untuk sekarang ini untuk jangka pendek kita tidak bisa berharap banyak kepada parlemen karena sebagian besar sudah menjadi bagian dari presiden dan yang harus kita lakukan adalah melakukan desakan-desakan lewat lembaga non parlemen missal dengan aksi dan opini tetapi kita tetap melobi parlemen dan Partai politik (Parpol). yang bisa kita lobi. Jangka panjangnya adalah pemilu, kedepan kita jangan memilih pemimpin dan Parpol yang tidak beretika politik”.

Hukum Bukan Untuk si Miskin
Lebih lanjut lagi dalam bukunya Zur Genelogie der Moral Nietzsche menjelsakan bahwa Rasionalitas Yuridis tidak lebih dari semacam kedok untuk memberi kesan manusiawi bagi wajah kei kekerasan dibaliknya, Hukum itu adalah kekerasan dalam bentuk lain, dan mata rantai kekerasan itu tidak pernah berahir.
Hal ini dapat tercerminkan dalam gegab gempita pijar kembang api, peluncuran proyek bus dan beberapa proyek ambisius lain, piluhan ribu warga menatab dengan suram masadepannya dalam lapak-lapak penampungan korban gusuran, menurut forum keprihatinan Akademisi, Meneta Kembali Hak Warga Negaraditahun 2003 yang sering di berikan predikat tahun penggusuran diwilayah DKI Jakarta saja, tak kurang terjadi 13 kasus penggusuran pemukiman dengan korban sedikitnya 6.960 KK kehilangan tempat tinggal dan penghasilan, 1 orang meninggal dunia, 1 orang diperkosa aparat dan 20 orang lebih luka-luka akibat penggusuran paksa yang dilakukan pemda DKI
Bukankah hak rakyat atas tempat tinggal yang layak dijamin oleh negara dalam pasal 27 Amandemen keempat UUD 45. Tak heran bila kemudian penggusuran paksa atau forced evection dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat seperti diamanatkan dalam pasal 9 butir d UU No.26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan juga resolusi PBB 1993/77 tentang penggusuran paksa.
Tetapi mengapa penggusuran tetap menjadi rutinitas negara, dengan cara pemaksaan dan kekerasa, lalu esensi hukum di negara intuk menangulangi kekerasan atau memunculkan kekerasan yang di legitimasi menjadi kebenaran oleh negara.
Dalam hal ini Usman Hamid kordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS) saat diwawancara di kantor kontras dengan elegan menjelaskan bahwa “Hari ini kita masih dalam proses Demokrasi kita sudah mengalami banyak kemajuan dalam berbagai hal, seperti dibentuknya Komisi-komisi negara seperti Komisi Yudisial, KOMNAS HAM, atau Komisi Pemberantasan Korupsi, sudah di dibentuk dan menjalanan tugasnya, akan tetapi watak dari birokrasi belum di ubah sehingga komisi-komisi tersebut tidak banyak membantu penyelesain masalah penegakan hukum dan pengawalan proses transisi Demokrasi dikarenakan Komisi tersebut mlah terseret dalam watak birokrasi kita yang tertutup dan Korup.
Pemerintah pun masih setengah-setengah dalam membikin produk hukum yang pro kepada masyarakat kecil semisal petani atau buruh di Indonesia, hal tersebut tercermin dengan di bentuknya Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM), dimana dengan sangat jelas petani dan buruh menolak, UUPM tersebut namun pemerintah tetap Mensyahkan, dengan katalain Hukum kita adalahmilik orang-orang yang memiliki Modal (Uang) tetapi tidak untuk Rakyat Miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar