Faforite Picture

Faforite Picture
Wait For Change

2.23.2009

Pers Mahasiswa “Weleh-weleh”





Oleh : Adhitya Johan Rahmadan

Pers Mahasiswa , kata orang disinilah pertahanan terahir bagi pers bebas, dimana saat orde baru pers banyak yang bungkam melihat rezim yang bertindak seenaknya tanpa memperhatikan konstitusi dan peraturan penyelenggaraan nagara yang baik, pers mahasiswalah yang tetap melantangkan suaranya,tak terhitung bayaknya pers-pers mahasiswa yang dibredel karena dipandang oleh zezim saat itu terlalau nyaring nyalaknya, nah kali ini pinginnih bahas tentang pers yang satu ini.

Salah satu dari serentetan tindakan pertama, rezim Zia Ul Haq setelah, menggulingkan pe¬merintahan Ali Bhutto adalah memulihkan kebebasan pers Pakistan. Sensor pers dicabut. Namun dalam hari-hari pertama "kebebasan", para pengasuh suratkabar kebingungan. Dalam dirinya sebenamya sejak lama telah musnah kriteria tentang apa yang boleh dan tidak boleh disebarluaskan dalam surat kabamya. Sensor diri selama ini telah begitu kuat tertanam. Tetapi dengan kebebasan yang diberi, para pengasuh terpaksa membiarkan konflik, keraguan serta pilihan-pilihan sulit membayangi dirinya. Dan mereka tidak tahu lagi mau diapakan kebebasannya.

Peristiwa 15 Januari 1974 sampai sekarang masih merupakan tonggak terakhir bagi aksi mahasiswa yang lepas bebas. Setelah itu buat jangka waktu hampir selama dua tahun yang ada adalah kesepian politik mahasiswa. Se¬buah surat keputusan menteri pendidikan yang lebih terkenal dengan SK 028 telah me¬larang kegiatan mahasiswa di luar kampus universitas. Semua kegiatan di luar kampus harus sepengetahuan dan seizin rektor universitas atau perguruan tinggi masing-masing. Akhirnya surat keputusan tersebut dicabut kembali oleh sebuah surat keputusan yang lain.
Kaskopkamtib mengumumkan bahwa mahasiswa boleh berbuat apa saja asal tetap terbatas di dalam dinding-dinding kampusnya. Adakah pengaruhnya bagi penerbitan mahasiswa? Studi kasus ini mencoba mengamati apa arti semuanya bagi penerbitan mahasiswa atau dunia penerbitan kampus.

Penerbitan kampus
Dengan kehadirannya pers kampus ingin me¬mainkan peranan yang lebih berarti. Tetapi masalahnya di mana mereka mencari peran¬an tersebut? Di dalam kampus atau di luar kampus? Kampus dipergunakan sebagai tempat untuk melancarkan ekspansi ke luar (kampus) ataukah hanyalah masalah kampus yang akan menarik perhatian mereka dalam karya jurnalistiknya? Ataukah sebenarya mereka hanya secara reaktif memberikan tangapan kepada peristiwa-peristiwa nasional, terhadap peristiwa-peristiwa di dalam mana mereka juga diharapkan turut terlibat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dicoba untuk dijawab.

Di banyak negara kekuatan mahasiswa se¬nantiasa diagung-agungkan. Dan juga sikap semacam ini bukannya tidak berdasar. De¬ngan semboyan kebebasan kampus, kebebasan mimbar, kampus-kampus Universitas bisa berbuat apa saja yang kadang-kadmig tanpa risiko atau dengan sangat yakin mereka tidak memperhitungkan risiko. Malah ada yang mengatakan bahwa:
A campus, like church is a privileged sanctuary. It can hide criminals or revolutionaries without threat of police intervention and arrest ... Only rarely do law enforcement officials risk intruding in a university city to catch a crook".("Student Press Plays Active Role in Foreign Countries", dalam: New-Register-Wheeling, W-Va¬Sunday, December 14.1975 hal. 4.)

Kampus seperti gereja adalah misbah suci yang memegang hak-hak istimewa. Dia bisa menjadi tempat umpetan, Kaum revolusioner tanpa ancaman campurtangan atau ditangkap polisi ... Hanya kadang-kadang saja para penegak hukum berani masuk kampus universitas untuk meringkus gembong penjahat.
Tetapi bagaimanakah semuanya ini tercermin dalam lingkungan penerbitan mereka? Berbeda dengan penerbitan-penerbitan umum, kebanyakan penerbit kampus adalah dwimingguan, atau bulanan. Karena kesibukan kegiatan mereka yang utama yaitu belajar, hampir tidaklah dapat diharapkan bahwa mereka akan menerbitkan koran-koran berita aktuil untuk menyaingi penerbitan di luar kampus. Karena itu mereka harus memilih jenis jurnal¬isme tersendiri. Tapi yang manakah? Pers ma¬hasiswa mungkin tidak secara bersengaja berusaha mengembangkan gaya jurnalsitik yang khas milik mereka.

Tetapi justru di situ dia jadi menarik karena semua tingkahlaku jurnalistiknya adalah perjuangan dirinya. Kenyataan tingkahlaku jurnalistik ini menarik untuk diteliti. Dimanakah letak persamaan antara sesuatu penerbitan mahasiswa dengan penerbitan mahasiswa lainnya? Ataukah semua pers mahasiswa seragam? Ataukah ada perbedaan yang menyolok antara pers mahasiswa? Di manakah letak persamaan dan perbedaan tersebut?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas hanyalah muncul bilamana ada suatu ethos pers mahasiswa yang berbeda dengan ethos pers umum atau berbeda dari satu kampus ke kampus yang lain. Di mana perbedaan tersebut?
Pers Mahasiswa mempunyai perbedaan mendasar dari pers biasa, hal tersebut terutama sekali terlihat dari semangat kritisnya, Dimana terbukti dalam rezim orde lama maupun orde baru dimana pers biasa tidak berani menyuarakan, kebenaran yang ditutup-tutupi oleh reezim pennguasa, dilain pihak pers mahasiswa dapat mengaungkan semangat perlawanan.

Pada masa orde baru bukan lagi rahasia kalau pemerintah pada saat itu sering membuat kebijakan yang tidak populer bagi perkembangan kebebasan informasi, banyak kebijakan yang dapat dijadikan contoh, sebut saja keluarnya SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers), intervensi terhadap isi dari media, sampai pada pembredelan beberapa media yang dianggap dapat merugikan pemerintah.

Sehingga dalam perjalanannya media yang dapat terus bertahan pada saat rezim orde baru tersebut berkuasa adalah media media yang menjadi corong dari program program pemerintah yang tidak jarang merugikan masyarakat, karena takut akan adanya ancaman dari pemerintah, dan hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan fungsi media yang seharusnya berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat.

Dan pada awal pemerintahan orde baru itu pula terjadi perubahan yang signifikan dalam pemberitaan, terutama denga dibukanya UU Tentang Penanaman Modal Asing tahun 1967. Sejalan dengan kebijakan tersebut banyak pebisnis asing di Indonesia, dan mulailah pemberitaan lebih mengejar keuntungan dari kantong kantong iklan. Tak heran bila pers muncul dengan wajah bisnisnya yang lebih bersifat persuasife untuk menarik pasarnya yang dual market yakni audiens dan pemasang iklan.

Pasca Orde baru seiring dengan berhembusnya angin demokrasi, yang pertanda munculnya banyak media massa baik yang cetak maupun elektronik juga di iringi dengan berkembangnya teknologi informasi dengan kemampuan konvergensinya yang handal tanpa disadari Indonesia telah memasuki era digital. Dengan kemampuan inilah media massa mampu menciptakan suasana interactivity dimana pemirsa dan pembaca seakan akan larut ikut masuk kedalam dunia pemberitaan maya yang ada dalam bentuk bentuk respon masukan. Pola pemberitaan juga berubah total hampir semua pemirsa menginginkan breaking news (berita yang bersifat terkini dan sedang berlangsung).

Tidak ada lagi rekayasa dan manipulasi data karena terdapat fasilitas komunikasi internet, e-mail, chatting,sms-mobile telephone yang memungkinkan khalayak untuk ikut pro aktif dalam pemberitaan, namun Media massa di era digital akan lebih berbentuk pangkalan data (data base) yang lebih menyesuaikan pada keinginan audiens.

Namun pola akan mengarah pada pendangkalan informasi yang didapat oleh masyarakat dan disamping itu seolah mengangap audiens ini selalu membutuhkan info info yang selalu baru, sehingga dengan mudahnya media akan berganti ganti isu, yang itu belum tentu dibutuhkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat, sehingga media hanya sebagai pemuas dahaga sesaat bahkan hanya sebatas hiburan yang justru menjauhkan masyarakat dari realitasnya.

Hubungan Pers, Negara, dan Masyarakat

Karakteristik Media ternyata sangat dipengaruhi oleh konstruksi masyarakat yang membentuk dan melingkupinya. Karenanya untuk memahami bagaimana kondisi media saat ini, perlu kita lihat struktur sosial masyarakat.

Dalam sebuah negara modern, ada tiga entitas utama yang menjadi unsur pembentuk kolektivisme yang bernama negara, yaitu pertama institusi negara itu sendiri, Pemilik modal (Swasta) dan masyarakat (Civil Society). Dalam konsepsi ideal demokrasi, ketiga komponen diatas seharusnya berdiri diatas kekuatan yang sama. Ketiganya saling mengontrol dan memberi kontribusi dalam mempengaruhi interaksi sosial yang ada ditengah masyarakat. Hanya saja dalam realitasnya adalah bahwa struktur ini timpang.

Pada kenyataannya Antara Negara dan Modal saling berhubungan secara mutualis, sehingga masyarakat berada pada posisi terekploitasi oleh dua pasangan dominan tersebut. Ada dua catatan yang perlu dikemukakan sebagai konsekuensi dari penempatan pers dalam hubungan negara dan masyarakat.

Pertama, pers hanya dilihat sebagai mediasi dari berbagai kekuatan social, ekonomi, dan politik yang berinteraksi. Dalam hal ini pers lebih merupakan refleksi dari dinamika hubungan antara negara dan kekuatan kekuatan politik masyarakat.
Kedua, Pers bisa juga dilihat sebagai salah satu bagian kekuatan social politik dari berbagai kekuatan social ekonomi yang berinteraksi dalam suatu orde politik tertentu. Dalam konteks hubungan negara dan masyarkat, pers selalu menempatkan dirinya sebagai salah satu dari kekuatan social politik masyarakat (Non – negara) yang behadapan dengan kekuatan politik negara.

Beberapa hal itulah yang menjadi pembeda pers mahasiswa dan pers umum dikarenakan pers mahasiswa mencoba menjadi media alternative terhadap staknanissasi perubahan social apalagi kita di Keadilan lebih tegas merumuskan perjuangan kita diarah jurnalisme transformative Cek ileeeeeeee.

Hal pokok yang berada dalam media yang menerapkan Jurnalisme transformatif adalah semangat untuk tidak pro terhadap pasar, namun semangat ini mencoba untuk mengarahkan opini pasar, dan terbebas dari setiap kepentingan dan intervensi baik dari sisi politik maupun kepentingan ekonomi, suatu hal yang berat tentunya, namun itu semua harus dilakukan karena media pada dasarnya adalah ujung tombak dari terwujud atau tidaknya suatu pencerahan yang dapat memberikan perubahan pada masyarakat.

Semangat pers mahasiswa
Dibandingkan dengan tahun 1977 maka. da¬lam tahun 1976 kelihatannya tidak terlalu banyak terjadi peristiwa-peristiwa "besar" dalam panggung politik nasional. Sedangkan dalam tahun 1977 cukup banyak terjadi peristiwa-peristiwa nasional yang penting seperti persiapan kampanye, kampanye itu sendiri, pemilihan umum serta peristiwa-peristiwa post¬ pemilihan umum, yang merupakan jalinan reaksi-reaksi keras dan lembut terhadap hasil pemilihan umum, pelantikan DPR/MPR hasil pemilihan umum. Sejauh manakah peristiwa¬peristiwa tersebut menarik perhatian pener¬bitan pers mahasiswa? Apakah reaksinya? Jalinan persepsi dan sikap mereka inilah yang bisa kita sebut ethos pers mahasiswa. Ini berarti bahwa dalam diri mereka telah ada suatu disposisi psiko-politis tertentu yang siap memberikan reaksi ke arahyang tertentu pula. Semuanya telah membudaya dalam dirinya. Sehingga apa yang dibuatnya bukanlah suatu kebetulan.

Ada beberapa hal yang sebenarnya sangat menarik perhatian mahasiswa dan penerbitan mahasiswa. Yang terutama sebenarnya tentu saja masalah pendidikan. Dalam hal ini masa¬lah kampus dan masalah yang menyangkut sistem pendidikan universitas atau perguruan tinggi. Kalau sekiranya mereka merasa bahwa pendidikan adalah suatu hal vang penting dan juga menjadi urusan mereka, maka dengan sendirinya masslah pendidikan akan menjadi titik pusat permasalahan yang dikaji dalam kegiatan-kegiatan jurnalistiknya atau mereka akan mengarahkan orientasinya kepada masalah-masalah ekonomi, kebudayaan atau politik. Yang dimaksudkan dengan politik di sini adalah sebagai berikut. Bisa dipakai dua kriteria untuk menentukan apakah suatu berita atau ulasan termasuk politik atau bukan-politik. Dia bisa berarti setiap tulisan yang berorientasi kepada kekuasaan atau yang berorientasi kepada proses pem¬buatan kebijaksanaan, yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah. Dia bisa dalam bentuk kritik, dukungan, saran atau apa saja.

Yang pada ahirnya penulis memunculkan definisi pers mahasiswa adalahentitas penerbitan mahasiswa yang ada di kampus perguruan tinggi yang dikelola oleh mahasiswa. Dimana kegiatan utamanya adalah penerbitan (dalam bentuk majalah, tabloid, newsletter, atau media online-webiste) yang benar-benar dikelola oleh mahasiswa. Seluruh proses mulai dari mencari berita (informasi), penulisan, tata letak, cetak dan distribusi dilakukan oleh mahasiswa.dengan tujuan untuk merubah tatanan social agar lebih berkeadilan, pers mahasiswa di Indonesia identik dengan pemantik perubahan sosial politik yang bekerja di balik layar.yang jadi permasalahan sekarang pers mahasiswa walaupun dapat mengaum dengan lantang tetapi dia bak engaum di tengah padang pasir. Dimana Mahasiswa enggan merespon dikarenakan budaya Pop yang hedonis dan lebih konsumtif, dengan itu mari kita sadarkan bersama bahwa kebenaran layak diperjuangkan dan hidup tanpa perjuangan adalah nista.

Daftar Pustaka :
1. Prisma 10, Oktober 1977
2. Ilham prisgunanto, Praktik ilmu komunikasi dalam kehidupan sehari hari,Teraju.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar