Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
Kekerasan di dunia pendidikan masih terjadi hingga saat ini. Meski Perploncoan dengan berbagai selimut nama sudah dihapus sejak tahun 199 dengan surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 5 Tahun 1995, kegiatan ini terrus berlangsung. Akibatnya, korban kekerasan mulai fisik hingga psikis berjatuhan.
Dalam jajak pendapat yang di selenggarakan oleh Litbang Kompas, sebagian besar ( 72,6 persen) respondeng menyatakan dunia pendidikan tidak memerlukan praktik-praktik perploncoan. Menurut mereka kegiatan perploncoan tidak dapat menghasilkan mahasiswa baru yang disiplin.
Hal tersebut sangat ironis, jika dilihat dari tujuan awal pendidikan, yang seharusnya penuh dengan kesantunan budi luhur dan contoh prilaku yang nir kekerasan sebagai cirik has budaya bangsa timur, tetepi apa boleh buat dengan beberapa alasan seperti kedisiplinan dan pembentukan mental maka budaya kekerasan baik secara verbal maupun fisik masih terus dilestaraikan.
Motif klasik dari motifasi perploncoan adalah ‘balas dendam’, mengerjai junior adalah kesempatan untuk balas dendam atas perbuatan yang dilakukan para senior pada tahun sebelumnya. Tentunya motif semacam ini tidak akan dapat diterima oleh siapapun. Tetapi selain itu ada juga yang dengan berbusa-busa mencari-cari pembenaran atas kegiatan semacam ini. Alasannya bisa bermacam-macam, mulai dari menjalin kebersamaan, propaganda ke arah yang baik sampai dengan memupuk kedisiplinan. Tetapi yang jelas saya melihat tidak ada korelasi antara tujuan mulia yang ingin dicapai dengan kejadian yang saya lihat di lapangan.
Perploncoan dari masa kemasa tersebut bisa di bagi dari beberapa periode (Kompas, Sabtu 14 April 2007):
1. Tahun 1960-an, saat itu disebut Masa Prabakti Mahasiswa (Mapram) dan Masa Perkenalan Mahasiswa .Korban yang jatuh cukup banyak
2. Tahun 1971 Muncul SK Mentri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1971 isinya menghapus Maperma diantara Mapram diganti dengan Pekan Orientasi Studi (POS).POS diganti Oriantasi Studi (OS)
3. Tahun 1990-an, Diganti menjadi Orientasi Studi dan pengenalan Kampus (Ospek) sampai sekarang
4. Ospek dengan semangat perploncoan untuk lingkup Depdiknas dihapus dengan surat edaran Dirjen Dikti Nomor 5 Tahun 1995
Menurut Dr. J. Sudarminta, SJ, kegiatan pendidikan sebagai proses pembudayaan semestinya berisi atau memuat pendidikan nilai. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pendidikan nilai adalah upaya untuk membantu peserta didik mengenal, menyadari pentingnya dan menghayati nilai-nilai yang pantas dan semestinya dijadikan panduan bagi sikap dan perilaku manusia, baik secara perseorangan maupun bersama-sama dalam suatu masyarakat.
Walaupun beberapa acara orientasi tidak direncanakan dalam bentuk kekerasan, tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan tidak seperti yang direncanakan. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh psikologi orang yang berkumpul (crowd psychology). Teori contagion mengatakan bahwa kumpulan orang-orang secara hipnotis mempengaruhi anggota-anggotanya secara individu. Orang-orang tersebut menganggap kumpulan mereka sebagai perisai sehingga mereka meninggalkan tanggungjawab mereka sebagai individu masing-masing dan mengikuti emosi kumpulan orang secara keseluruhan. Hasilnya, kumpulan orang-orang tersebut seakan-akan mengajak anggota-anggotanya untuk menjurus kepada aksi-aksi brutal.
Hal tersebut sangat rentan terhadap tindakan-tindakan merugikan orang lain atau bahkan dapat dikatakan sebagai pelanggaran pidan delik penganiayaan dimana Penganiayaan dalam pasal 351 (4) Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP), Dengan penganiayan disamakan dengan sengaja merusak kesehatan, dalam hal ini jika ada mahasiswa baru yang sakit karena tindakan sengaja dari panitia ospek dapat berpotensi melanggar delik Ini.
Proses kekersan verbal ini juga ber potensi dengan pelanggaran terhadap delik penghinaan dimana dalam pasal 319 (1) KUHP menyebutkan bahwa “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu limaratus rupiah.
Bahkan dari kasus terahir sudah terdapat korban jiwa yaitu Dwiyanto Wisnugroho Mahasiwa Teknik Geodesi angkatan 2007 ITB meninggal dunia saat melakukan Ospek yang menyebabkan etrjatuh saat mengikuti longmarch yang menyusuri tanjakan 800 meter di Desa Pagerwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.hal ini dapat dikatorikan kejahatan pidana dengan pasal 359 yang berbunyi : ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Hal tersebut dapat dijadikan pengalaman bersama karena pendidikan kita mencerminkan kekerasan, kegiatan pendidikan yang seharus nya menanamkan sifat humanis dan perdamain telah berubah sebagai proses penanaman paradikma kekerasan kepada manusia itu sendiri, apakah hal tersebut akan tetap kita pertahankan, kita bisa bayangkan generasi kita keepan jika mereka dididik dengan cara kekerasan.
“Pembentukan budaya disiplin tidak harus dengan kekerasan”
Faforite Picture
2.23.2009
Budaya Kekerasan Di Dunia Akademis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar