Faforite Picture

Faforite Picture
Wait For Change

5.28.2009

Rakyat Mengonggong DPT, Kafilah Tetap Berlalu

Warga Papaua Melapor ke LBH Yogyakarta Karena kehilangan hak pilihnya

Oleh : Adhitya Johan Rahmadan

Apakah pemilu kali ini dapat dikatakan respresentatif, disaat jutaan orang tidak dapat memilih karena tidak di berikan hak pilih oleh KPU sedangkan BANWALU hanya dapat melihat saja tanpa bisa berbuat apa-apa, penghilangan hak warga untuk memilih yang direspresentasikan dengan kacauya DPT merupakan pelangaran HAM.

Pemilu adalah penanda dimana roda demokrasi berjalan, kesuksesan dan kredibilitas pemilu ini sangat di tentukan oleh kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (BANWASLU), Banyak yang berpendapat kinerja kedua lembaga ini dalam pemilu legislatif tahun 2009 ini di nilai sangat buruk baik dari segi penyelenggaraan dan pengawasannya. Hal ini juga tercermin dalam kasus warga Papua yang tidak dapat mengunakan hak pilihnya dalam pemilihan Legislatif tahun 2009 ini, dimana perwakilan warga papua tersebut diantaranya adalah Onesimus Kambu, Natalsen Basna, Beni Dimara, Yakobus Murafel, Elliza T Mandosir mereka mewakili 525 warga Papua pemegang Formulir A 5 Daftar Pemilih Tetap di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, mengadukan permasalahan tersebt ke LBH Yogyakarta.

Bahwa menurut keterangan perwakilan warga papua tersebut pada Rabu, 8 April 2009 atau satu hari sebelum petempat mereka memberikan hak suaranya atau hak pilihnya, kemudian hari Rabu, 9 April 2009 sekitar jam 08.00 Wib mereka berniat memberikan hak pilihnya pada TPS-TPS yang tercantum didalam undangan untuk memilih yang diterima oleh klien kami, tetapi sesampainya di tempat pemilihan suara (TPS) ternyada nama mereka tidak tercantum dalam daftar pemilih di TPS tersebut, sehingga mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

Menurut Hestu Cipto Handoyo Pembatu Rektor III Universitas Admajaya Yogyakarta dan Direktur Parlement Wach Indonesia saat mengisi diskusi tentang Carut Marut Pemilu Legislatif 2009 di LBH Yogyakarta mengatakan “Permasalahan Pemilu 2009 yang paling menonjol di saat-saat yang menentukan adalah banyak warganegara yang kehilangan hak pilih karena tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang disusun oleh KPU dan KPU Daerah. Sistem administrasi kependudukan lagi-lagi menjadi biang keladi persoalan ini. Permasalahan semakin menjadi-jadi ketika angka Golput dalam Pemilu mencapai 40%. Persentase tersebut terdiri dari Golput yang memang tidak mempergunakan hak pilih, dan golput yang dipaksa atau terpaksa karena tidak tercantum dalam DPT”.

Bagi Golput yang karena kesadaran sendiri tidak mempergunakan hak pilih, tentu tidak menjadi masalah, karena tidak memilih dalam pemilu juga merupakan manifestasi dari hak. Namun persoalan menjadi sangat serius manakala Golput tersebut dipaksa atau terpaksa, karena nama warga negara sebagai pemegang hak pilih tidak tercantum dalam DPT.Persoalan krusial Golput yang dipaksa atau terpaksa ini, jika ditinjau perspektif HAM jelas melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (3) Deklarasi HAM Sedunia yang salah satunya menghendaki adanya asas berkesamaan.

“Pemaksaan Golput karena tidak tercantumnya nama pemilih dalam DPT pada hakikatnya dapat dikategorikan merupakan tindakan yang secara sistemik menghalang-halangi warga negara dalam mempergunakan hak pilih dalam pemilu. Langkah menghalang-halangi ini dapat dilakukan melalui berbagai modus operandi baik itu disengaja maupun tidak. Terlepas dari sengaja maupun tidak sengaja, tetap dapat dikategorikan sebagai bentuk pemaksaan Golput. Hal ini mengingat pemenuhan hak untuk memilih dalam pemilu bagi warga negara pada hakikatnya harus dikuti oleh kewajiban dari penyelenggara pemilu (KPU) untuk memenuhinya. Sehingga tanpa harus diminta penyelenggara Pemilu wajib memberikan fasilitas kemudahan untuk pemenuhan hak warga negara untuk memilih.

Dengan demikian, tidak ada alasan bagi penyelenggara Pemilu untuk tidak melakukan pendaftaran pemilih dan update data bagi warga negara yang telah memiliki hak untuk memilih. Dengan terjadinya kekacauan DPT yang mengakibatkan sebagian dari 40% Golput dalam Pemilu 2009 adalah karena tidak tercantum dalam DPT, maka hal ini menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu, yakni KPU/D telah melalaikan atau tidak melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya. Pemerintah dan/atau KPU/D jelas-jelas telah menghilangkan hak konsititusional sebagian Warga Negara. Disinilah pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak dapat ditoleransi lagi, karena hak pilih dalam pemilu merupakan hak asasi yang paling mendasar dalam konteks hak politik warga negara. Apalagi Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah” lanjut Hestu Cipto Handoyo menjelaskan.

Terkait kacaunya DPT pada pileg , M. Irsyad Thamrin Diektur LBH Yogyakarta mengatakan pemerintah harus bertanggung jawab, bahkan sebisa mungkin hal ini dibawa ke jalur hukum. Dengan pertimbangan jika pelanggaran tersebut dibiarkan, ada cenderungan pemerintah akan melakukan hal yang sama pada pemilu-pemilu selanjutnya. "Kacaunya DPT jelas sebuah pelanggaran pemilu. Kinerja pemerintah perlu dipertanyakan antara KPU dan Menteri Dalam Negeri, karena banyak pemilih yang pada Pemilu 2004 ikut memilih tapi pada Pemilu 2009 tidak terdata dalam DPT. Ini kan aneh," tutur Irsyad.

Untuk permasalah tersebut Hestu Cipto Handoyo mengusulkan perlu diadakannya pemilu khusus bagi warga negara yang terpaksa golput. Pasalnya jumlah pemilih yang terpaksa golput karena tidak terdata pada DPT pileg lalu sangat banyak, bahkan diperkirakan hingga 40 persen."Di samping itu perlu penegakan hukum atas pelanggaran pemilu kali ini. Karena sesuai Undang-undang Pemilu Nomor 10/2008 Pasal 262 disebutkan setiap orang yang saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dipidana penjara paling singkat 12 bulan sampai 36 bulan dan denda Rp 12 juta sampai Rp 36 juta," jelasnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar