Faforite Picture

Faforite Picture
Wait For Change

5.13.2009

Rakyat Menolak, AMDAL Jalan Terus

Oleh : Adhitya Johan Rahmadan

Walaupun Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) menolak ekploitasi pasir besi di lahan yang mencakup 10 kelurahan tersebar di empat kecamatan antara lain Wates, Galur, Banaran, dan Panjatan, rencana penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tetap dilaksanakan.



Setelah penandatanganan Kontarak Karya Antara Pemerintah dan PT Jogja Magasa Mining (JMM) dan anak perusahaannya yaitu PT Jogja Magasa Iron (JMI) sebagai pelaksana lapangan 6 Nopember 2008 lalu, maka rencana selanjutnya adalahpenyusunan dokumen AMDAL . Walaupun warga bersikeras untuk menolaknya namun pemerintah terlihat tutupmata.

Menurut Sultan, penandatanganan kontrak karya ini baru sebatas izin melakukan studi dan analisis mengenai dampak lingkungan. Sedangkan izin pendirian pertambangan dan pabrik baja akan dibicarakan lebih lanjut. "Yang jelas kontrak karya ini baru merupakan izin untuk melakukan studi AMDAL, desain, rencana pabrik, dan sebagainya. Ini belum untuk mendirikan industry."

Presiden Direktur PT JMM Lutfi Heydey sendiri berjanji penyusunan AMDAL akan dilakukan terbuka demi memuluskan proyek itu. Selain itu AMDAL akan dibuat sesuai dengan standar nasional dan internasional agar bahan baku bajanya diterima di dunia.Tetapi hal ini tidak terbukti karena sosialisasi yang dilakuakan tidak melibatkan masyarakat. Hal ini terlihat dari Aksi PPLP yang menduduki tempat sosialisasi AMDAL oleh PT JMM di Hotel Safir Yogyakarta pada hari kamis tangal 12 bulan maret 2009. Sekretaris PPLP Sukarman mengatakan “aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk penolakan atas proyek penambangan pasir besi yang akan dilakukan oleh PT JMI karena dalam sosialisai tersebut PT JMI tidak beriktikat baik.”

“Mengapa petani yang terkena dampaknya malah tidak diundang. Sosialisasi itu hanya melibatkan pemerintahan desa.” Ungkap Sukarman seolah memendam kekesalan. Dalam pernyataan sikapnya, petani menuntut pemerintah setempat membatalkan proyek penambangan pasir besi yang akan memakan lahan pantai sepanjang 22 kilometer di pantai selatan Kulonprogo. Sebab, puluhan ribu petani yang mengandalkan ekonomi di lahan pantai sudah merasa “sejahtera” dengan pertanian cabai, semangka dan tanaman palawija lainnya yang ditanam di lahan tersebut.

Rencana AMDAL yang tidak terbuka tersebut disinyalir akan menyembunyikan dampak kerusakan lingkungan yang hebat. Berdasarkan survey WALHI Yogyakarta, rencana eksploitasi pasir besi akan berimplikasi terhadap 123.601 jiwa yang menaruh harapan pada 4.434 ha lahan pertanian produktif di 4 kecamatan yakni Temon, Wates, Panjatan dan Galur. Dampak lain adalah akan terjadi ekploitasi pasir besi dengan luas bentang alam dan alih fungsi lahan sekitar 22kmx1,8km.

Jika pertambangan tetap dilakukan kerusakan ekosistem dan keseimbangan ekologi yang ada di kawasan pesisir selatan akan terjadi. Dominasi tambang akan lebih kental dibandingkan dengan pertanian, wisata, maupun kawasan lindung, sebagai penyangga kawasan ekologi di kawasan selatan jawa. Keberadaan flora fauna (misalnya, migrasi burung-burung asia pasifik ) yang ada di kawasan tersebut juga terancam. Karena kawasan pesisir selatan sebagian adalah wilayah migrasi burung-burung asia pasisfik yang jarang di temukan di indonesia.

Konon penambangan ini akan menyerap banyak lapangan pekerjaan dan mendatangkan banyak defisa buat Negara. Bisa dilihat dimana Pada Tahap Konstruksi, perusahaan akan menyerap tenaga kerja lokal sebanyak 5000 orang dan pada tahap awal produksi akan mempekerjakan tenaga kerja lokal sebanyak 3000 orang. Dari usaha ini devisa yang akan di terima oleh pemerintah pusat adalah pemasukan pajak US$ 20 juta per tahun ditambah royalti US$ 11,25 juta per tahun. Pemerintah Kabupaten Kulonprogo akan mendapat kontribusi sebesar 1,5% persen dari penjualan masing-masing untuk Regional Development dan Community Development dan setelah 10 tahun meningkat menjadi 2,5%.

Syamsudin Nurseha selaku kuasa hokum PPLP dari LBH Yogyakarta Mengatakan masyarakat petani lahan pesisir di kulonprogo sudah makmur tanpa adanya Proyek JMI di kawasan tersebut, karena pekerjaan yang cocok untuk petani adalah bertani bukan menambang. “Jika warga PPLP menyerahkan lahan tersebut untuk di jadikan Industri Pasir Besi belum tentu mereka dapat bekerja di dalamnya karena kemampuan mereka adalah bertani bukan penambang. Dengan tidak transparanya pengelolaan AMDAL, karena pihak masyarakat tidak dilibatkan, ini sangat merugikan masyarakat kususnya PPLP karena merekalah yang akan terkena dampak langsung dari proyek tersebut”. Jelas Samsudin.

Siti Maenunah, seorang aktifis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melihat Kontribusi yang dihasilkan oleh Pertambangan untuk Negara dan masyarakat ini dalam empat dekade sangat tidak menguntungkan. Selama ini eksploitasi sektor tambang di Indonesia sebagian besar berbasiskan bahan mentah untuk kebutuhan ekspor. Bahkan Freeport dan Newmont mengekspor emas dalam bentuk konsentrat. Akibatnya nilai tambah sektor ini sangatlah kecil. Sepanjang tahun 2000 – 2004, sumbangan sektor pertambangan umum untuk APBN hanya berkisar antara 1,3 – 2,3 trilyun dari royalti yang disumbangkan pertambangan kepada APBN. Departemen ESDM mengklaim, pemasukan sektor tambang kepada negara mencapai Rp 17 trilyun pertahun. Bandingkan dengan pendapatan yang diterima negara dari pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) keluar negeri yang mencapai Rp 25 trilyun pertahun.

Penyerapan tenaga kerja massal di tingkat lokal juga tidak terjadi seperti yang dibayangkan. Sektor pertambangan hanya menyerap 0,13% tenaga kerja Indonesia. Bandingkan dengan sektor pertanian yang menyerap hinggga 43,7% tenaga kerja Indonesia. Apalagi, operasi sebuah perusahaan tambang juga berumur pendek, karena besarnya produksi dan bahan yang digali adalah bahan yang tidak bias diperbarui. Umurnya pendek hanya berkisar antara 3 hingga 12 tahun, tentu pengecualian untuk PT Freeport karena menguasai 51% cadangan emas dan tembaga Indonesia.

Setelah hampir empat dekade pengelolan pertambangan, sektor pertambangan mineral yang diharapkan menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia tak sesuai. Bisa kita lihat antara manfaat (benefit) dan mudharatnya (cost). Manfaat adalah berapa tingkat kesejahteraaan baik kulaitatif maupun kuantitatif yang diterima. Sedangkan Mudharat adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara dan penduduk lokal saat pertambangan mulai masuk, beroperasi, hingga mereka meninggalkan kawasan pertambangannya, termasuk resiko yang ditimbulkan seperti kecelakaan, kerusakan baik sosial, budaya maupun ekologi.

Keyakinan bahwa sektor tambang mensejahterakan suatu negara berkembang sebagai pemilik sumberdaya tidak terbukti. Alih-alih kesejahteraan yang didapat penduduk lokal, mereka justru harus mensubsidi perusahaan tambang yang beroperasi dikawasan mereka dengan cara kehilangan lahan, mata pencaharian, kerusakan lingkungan dan bahaya kesehatan akibat pertambangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar