Faforite Picture

Faforite Picture
Wait For Change

5.12.2008

Bukan Belas Kasihan Tetapi Hak

Bantuan hukum cuma-cuma yang selama ini hanya dianggap belas kasihan, sekarang harus diubah menjadi gerakan konstitusional yang menjadi kewajiban untuk dipenuhi

Bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat di peroleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak dihadapan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dimana didalamnya ditegaskan bahwa fakir miskin adalah menjadi tanggung jawab negara. Terlebih lagi, prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk dibela Advokat (acces to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasaan masyarakat indonesia dari kemiskinan khususnya dalam bidang hukum.
Hal tersebut sangat kontras dengan yang dirasakan Iwan salah satu warga porong sidoarjo yang terkena bencana lumpur lapondo, saat diwawancara oleh reporter keadilan di saat Iwan dan beberapa warga Porong yang sedang mengadakan aksi di monumen proklamasi jakarta, dibawah pohon rindang tempat beberapa warga porong menggelar tikar untuk dijadikan alas tempat melepas lelah dan menyejukkan badan ditrengah terik mentari yang menyengat.
Iwan menawari kami untuk duduk semabari menawarkan minuman Iwan mengatakan “ kami ke jakarta untuk mencari keadilan karena masalah lumpur ini tidak di perhatikan oleh pemerintah setempat, kemarin waktu bupati siduarjo datag malah menenyakan kenepa kami datang ke jakarta dan tidak berbuat apa-apa untuk kami yang mencari keadilan di sini (Jakarta) sedangkan pembayaran gantirugi dari pihak lapindo dengan dua tahap dengan pembayaran dua puluh persen untuk awal dan sisanya delapan puluhpersen dibayar belakangan, Sedangkan kerusakan yang diakibatkan oleh bencana lumpur lapindo ini sangatlah besar kita kehilangan semua identitas sosial budaya, tempa tinggal dan mata pencaharian, sedangkan kami sudah sangat mengalah seperti tutntutan harga tanah untuk kita yang dikatakan Abdul Rizal (pihak lapindo) sangatlah tinggi, tapi kalau sesuai dengan Undang-Undang Migas harganya akan dapat lebih tinggi lagi yaitu setiap satu meter persegi harganya lima juta, kenyataan kita sudah ngalah seperti ini, dengan diberikan tanah seratus dua puluh ribu per meter, itu tanah dan banguinan yang kami tuntut, bagaimana kalau Immaterielnya juga kami tuntut akan sangat banyak itu juga tidak kami lakukan, kami hanya ingin pembayaran kontan itu juga tidak diberikan kalau dengan sistem seperti itu siapa yang akan menjamin pembayaran sisanya, nanti kami dibohongi lagi, kalau saya lihat ini ada semacam lepastangan dari pihak pemerintah karena sampai sekarang pihak lapindi juga tidak dinyatakan bersalah, terus dalam hal ini siapa yang salah pihak pemerintahpun tidakmau disalahkan, kami tidak dapat berbuat apa-apa, walaupun jalur hukum sudah kami tempuh tetapi keadilan tidak kami dapatkan”
Hal yang dialami Iwan dan warga porong yang menjadi korban bencana lumpur lapindo hanya potret kecil dari lemahnya warga miskin yang sulit mendapatkan akses hukum dan mendapatkan bantuan hukum, dan posisi mereka yang sangat ‘jompalng’ jika berhadapan dengan pemerintah atau perusahaan besar yang mampu menyewa Advokat handal dan secara tidak langsung memiliki posisi lebih tinggi di dalam pengadilan.
Padahal indonesia adalah negara hukum demikian ditegaskan dalam pasal satu ayat tiga UUD 45 sebagai negara hukum, Indonesia menjunjung tinggi prinsip kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum, Indonesia menjunjung tinggi prinsip kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum, sehubungan dengan prinsip tersebut, maka dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 45 diatur tentang hak setiap orang atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlindungan yang sama di hadapan hukum .
Dan hak masyarakat untukmendapatkan bantuan Hukum Cuma-Cuma (probono) merupakan Hak Asasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah agar akses keadilan juga dapat didapatkan oleh kaum miskin dimana dalam pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur tentang pemberian bantuan hkum secara probono, tetapi hal tersebut hanya terbatas kepada mereka yang disangka atau di dakwa melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman mati, pidana 15 tahun atau lebih dan mereka yang tidakmampu disanggka dan didakwa melakukan tindakpidana dengan acaman hukuman 5 tahun lebih, dan untuk menunjang pelaksanaan KUHAP tersebut pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memnuhi ketentuan psal 56 UU Nomor 8 tahun 1981, yaitu dengan penyaluran dana sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah untuk setiap perkara yang disalurkan ke setiap biro-biro bantuan hukum dio setiap fakultas hukum negeri.
Tetapi menurut penelitian badan penelitian pengembangan propinsi kalimantan timur pada tahun 2004 hal tersebut dirasakan tidak efektif, pemberian bantuan hukum probono dengen cara menyediakan anggaran dantersebut, dalam pelaksanaannya kurang berdayaguna dan berhasil guna hal ini disebabkan terbatasnya anggaran perkara yang alokasinya hanya sebatas saratus ribu rupiah hingga duaratus limapuluh ribu rupiah hal ini dianggap advokat sangat tidak mencukupi untuk pemenuhan biaya operasional selain itu jumlah tersangka atau terdakwa yang membutuhkan bantuan hukum probono jumlahnya lebnih banyak dari alokasi dana yang setiap tahunya hanya dibatasi sepuluh sampai duapuluh perkara disetiap wilayah kerja pengadilan negeri.
Disamping kedua alasan tersebut, ada fenomena menarik yang perlu diantrisipasi, ternyata tersanggka atau terdakwa kurang percaya kepada Advokat yang ditunjuk oleh pengadilan negeri. Terjadi banyak kasus pada saat tersangka atau terdakwa di dampinngi Advokat yang ditunjuk pengadilan, dimana kecendrungan pengacaranya kalah bahkan putusan hakimnya bisa lebih berat, Fakta lainnya yang paling menonjol adalah kurangnya sosialisasi terhadap program bantuan hukum probono tersebut
Permasalahan tidak terpenuhinya bantuan hukum bagai masyarakat yang tidak mampu, sebagai hak asasi yang harus dijamin oleh Negara tersebut di tanggapi oleh Usman Hamid Kordinator Komisi Untuk Orang Hilang Dan Tindak Kekerasan (KONTRAS) saat ditemui reporter keadilan di ruang kerjanya yang cukup unik dengan beberapa alat musik yang diletakkan cukup rapi dan beberapa buku berbahasa asing yang menghiasi rak-rak di ruangan tersebut, dengan cukup tergas Usman Hamid mengatakan bahwa “masih banyak masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan hukum dan walaupun mendapatkan bantuan hukum probono masih tidak setara dimata hukum.
Hal tersebut di tentukan oleh banyak faktor, yang pertama sampai sejauh ini bantuan-bantuan hukum itu belum bisa menyetarakan posisi masyarakat tidak mampu yang berhadapan dengan pemerintah , korporasi atau mesyarakat yang mampu untuk membayar Advokat handal dan membiayaayai semua proses hukumnya kemudian berapasih sarjana-sarjana hukum di indonesia yang jumlahnya sangatas dan itu pun sarjana-sarjana hukum di indonesia tidak semuanya mau membantu masyarakat dengan probono, kalaupun ada bantuan hukum yang dilakukan pun sangat terbatas atau setengah-setengah dikarenakan dana yang disediakan untuk bantuan hukum probono tersebut sangat terbatas bayangkan kalau mereka dihadapkan dengan pihak pemmerintah, korporasi dan masyarakat yang mampu tentu akan sangat berat sebelah, apalagi di perparah struktur politik di negeri ini yang pro pemodal, tidak mungkin equalitiy bifore the law bisa tercapai, sangat jauh dari harapan juka kita mencermati keperbihakan pemerintah untuk bantuan hukum untuk masyarakat yang tidak mampu”
Advokat Sebagai Pilar Utama
Adalah Frans Hendra winata yang dalam bukunya Bantuan hukum suatu hak asasi manusia bukan belas kasihan, mengatakan bahwa sistem hukum di indonesia dan UUD 1945 menjamin adanya persamaan di hadapan hukum, demikian pula hak untuk di dampingi Advokat di jamin sistem hukum Indonesia, bantuan hukum untuk masyarakat tidak mampu memiliki hubungan erat dengan Equality before the law dan access to legal counsil yang menjamin keadilan bagi semua orang oleh karena itu bantuan hukum selain merupakan HAM adalah gerakan konstitusional,
Dengan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat, yang semangatnya untuk mewujudkan profesi advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab juga terkandung adanya kehendak kuat agar prinsip negara hukum, yaitu equality before the law dapat diwujudkan, disini peran advokat diingatkan kembali akan tugas-tugas sosialnya, yaitu kewajiban advokat untuk meluangkan waktu dan tenaganya guna memberi bantuan hukum secara Cuma-Cuma bagi para pencari keadilan dan masyarakat yang tidak mampu. Kewajiban itu secara tegas diatur dalam pasal 22 UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, yang berbunyi :
1. Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma begi pencari keadilan yang tidak mampu.
2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tatacara pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dari ketentuan Pasal 22 tersebut, kata wajib mengandung pengertian tersendiri dimana, kalau sebelumnya pemberian bantuan hukum oleh advokat tersebut semata-mata merupakan kewajiban dan tanggung jawab sosial maka dengan pasl 22 tersebut kewajiban Advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma menjadi kewajiban dan tanggungjawab hukum.
Dengan UU Nomor 18 tersebut kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma tidak hanya tebatas kepada masyarakat tidak mampu yang tersangka atau terdakwa tindak pidana yang diancam hukuman 5 tahun, tetapi terhadap perkara-perkara pidana, perdata dan tata usaha negara bahkan perkara-perkara yangtunduk dibawah peradilan militer, advokat juga berkewajiban untuk memberikan bantuan hukum probono bagai yang tidak mampu.
Semendawai Wakil Direktur Lembaga Setudi dan Advokasi Masyarakat ELSAM mengetakan “Saya melihat sangat rendah komitmen pemerintah untuk memenuhi hak-hak para pencari keadilan memang salah satu cara yang diambil oleh pemerintah adalah menyediakan pengacara-pengaca kepada warga negara yang membutuhkan pendampingan pengacara. Akan tetapi keseriuusan pemerintah dalam menyediakan pengacara untuk rakyat miskin sangatlah kurang, dana yang disedeikan untuk bantuan pengacara untuk rakyat miskin sangata minim dan kadang dalam praktek tidak sampai kepada pengacara yang besangkutan, hal seperti itu kan sulit kita bayangkan seorang pengacara itu bisa bekerja secara maksimal kalau dia membela saeorang klien, transport aja tidak cukup misalnya, jadi sering kali kehadiran pengacara itu cuman formalitas dia tidak melakukan pembelaan secara substansial yang penting pengacara hadir itu suda cukup dan dikarenakan dana-dana itu di kelola oleh pengadilan itu membuat pemilihan terhadap adsvokat juga digantungkan pada kedekatan pengacara kepada pengadilan , jadi seringkali advokat-advokat yang ditunjukan dalah advokat-advookat yang loyal terhadap pengadilan, jadi dia tidak melakukan pembelaan secara betul karena advokat akan enggan untuk membantah jaksa atau hakim untuk menjaga hubungan baik’ dengan institusi pengadilan yang memberikan dana untk bantuan proboononya, itu yang menyebabkan bayak masyarakat beranggapan bila kasusnya di bantu oleh advokat yang di tunjuk pengadilan banyak kasusnya kalah bahkan hukumannya dapat lebih berat, oleh karena itu memang yang pertama anggaran untuk pembelaan masyarakat miskin itu seharusnya tidak dikelola sendiri oleh pengadilan tetapi diserahkan saja kepada lembaga-lembaga bantuan hukum yang kapabel, transparan dan punya track record yang baik.
Dalam ruang rapat di kompleks kantor ELSAM tersebut tempat Semendawai menerima reporter keadilan, meneruskan “ketentuan didalam ICCR satunya adalah ketersediaan pengacara bagi masyarakat miskin negara bertanggung jawab untuk menyediakan pengacara buat masyarakat miskin yang berperkara, berati kalau masyarakat miskin kesulitan untuk mendapatkan pengacara dalam artian pengacara yang betul-betul membela hak kliennya itu berarti negara sudah melakukan pelanggaran HAM
kalau kita lihat anggaran bantuan hukum itu memang sangat kecil dengan beberapa pertimbangan bahwa anggaran bantuan hukum itu bukan sebuah prioritas yang menjadi problem lain adalah anggaran bantuan hukum itu sering dipakai oleh pejabat pemerintah sendiri, jadi sebenarnya masing-masing daerah itu memiliki anggaran bantuan hukum ada satu kejadian di aceh anggaran bantuan hukum itu sebesar tiga milyar untuk satu tahun tapi ternyata anggaran itu dipakai Gubernurnya yang sedang mengalami persoalan hukum, dipakailah uang itu untuk membayar pengacaranya satu setengah milyar, dimana seharusnya anggaran tersebut harusnya digunakan untuk kasus-kasus kelompok miskin. Dan dapat kita bayangkan kadang satu propinsi saja anggaranya rata-rata cuman tiga milyar jadi betul-betul kecil jadi oleh karena itu dalam perumusan anggaran pengeluaran negara biaya-biaya administrasi peradilan itu harus di monitoring, jadi Lembaga bantuan hukum dan Lembaga konsultasi dan bantuan hukum, itu juga ikut memantau proses perdebatan dalam penyusunan anggaran daerah tersebut dimana mereka harus ikut dan terlibat, kalau dia dibiarkan sendiri siap-siap saja dananya kecil, ini yang harus di advokasi atau diperjuangangkan yang ditekankan disini itu peran negara dimana mereka punya kewajiban untuk menyediakan advokat probono, dia punya hak gaji dari kantor bantuan hukumnya, yang sama banyaknya dengan pengacara untuk kasus biasa (non probono)”.
Untuk mengatur bagaimana Lembaga Bantuan Hukum dan pemenuhan hak bantuan hukum untuk kasus probono maka akan disusun Undang-Undang Bantuan Hukum dimana gagasan Utamanya Pentingnya UU bantuan hukum mengacu pada hak asasi setiap orang yang harus dilindungi, dipenuhi dan dihormati oleh Negara.
Untuk itu Semendawai menambahkan “Yang perlu diingat rencana UU bantuan hukum ini sebenranya telah lama digagas cuman ternyata RUU bantuan hukum ini tidak pernah muncul untuk disyahkan, untuk bisa melahirkan sebuah undang-undang harus ada desakan yang kuat dan harus ada orang yang memeperjuangkan dengan intens untuk UU ini, nah bagaimana kita harus megatakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat bahwa UU ini adalah UU yang Urgen, itu satu hal yang harus dipikirkan, yang kedua apa sih substansi apa yang harus diaatur dalam UU tersebut, saya melihat beberapa hal yaitu. Dana bantuan hukum Cuma-Cuma tersebut harus diatur dalam Undang-Undang ini, disini lembaga yang membantu menyediakan advokat probono harus dengan advokat yang profesional jangan advokat yang baru belajar, yang kedua adalah lembaga bantuan hukum tersebut harus memiliki berbagai syarat, syaratnya diantaralain adalah orang yang betul-betul membela untuk kepentingan kliennya bukan kepentingan orang lain, kemudian dia bersifat transparan, memiliki skil dan kemampuan, kemudian dia juga ikut menciptakan situasi peradilan yang independen dan imparsial, jadi syarat-syarat bagi lembaganya bantuan hukumnya sediri adalah laporan aggaranya jelas, kemampuan advokatnya juga jelas dan lembaganya adalah lembaga yang kredibel. Dan yang tidak kalah penting kalau haltersebut bisa direalisasikan harus ada institusi tertentu yang bertugas memberlakukan akreditasi terhadap lembaga ini (lembaga bantuan hukum), karena kita tahu bahwa paraktek selama ini ada sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dimana LSM itu ada yang plat merah, plat kuning, plat hijau dan ada LSM yang murni dari pemerintah”
Walaupun konsep sistem bantuan hukum cuma-Cuma tersebut sangat dibutuhkan masyarakat, tetapi jika pemerintah belum meilii presepsi yang sama, maka pemenuhan hak asai manusia ini tetap tisak akan terpenuhi seperti yang di katakan oleh franz hendra winata “sistem hukum telah diabaikan dankalah bersaing dengan subsitem politik, ekonomi dan sosial “.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar